Saturday, November 21, 2009

bismillah..........

Zahid berjalan melewati pertokoan di Kandara abha Street itu. Pandangannya tertunduk. Rasanya ia tak mampu menatap ke arah sengatan matahari. Ia berjalan di pinggiran,, mencari jalan yang teduh di emper pertokoan. Ia terus berjalan mencari toko sepatu milik sahabatnya,, Sufyan. Sudah lama sekali ia ingin membeli sepatu baru untuk menggantikan sepatu lamanya yang sepertinya sudah tak sanggup lagi untuk diajak melanglang buana. Belum lagi ia sampai di sana,, pandangannnya tiba-tiba berubah arah. Matanya tertuju pada sebentuk makhluk yang berbalut kain hitam-hitam. Jubah dan cadar. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya. Gadis itu sedang berdebat dengan seorang penjual buah. Si gadis menawarkan harga yang lebih tinggi dari penawaran si penjual. “Aneh!” pikir Zahid. Bibirnya menyunggingkan senyum. Sesaat kemudian ia bergegas bersembunyi di balik tembok ketika dilihatnya si gadis beranjak hendak pergi. Rupanya ia “menyerah” terhadap penawaran sang penjual. Zahid mengintip di balik tembok. Dilihatnya si gadis masuk ke dalam mobil hitam. Pandangannya terus tertuju pada mobil itu hingga menghilang di kejauhan. Zahid melanjutkan perjalanannya “berburu” sepatu baru. Sampailah ia di toko sahabatnya itu.
“Ahlaaann......... keif halk,, ya akhie??” sapa sang pemilik toko.
“Alhamdulillah,, ana bi kheir. Keif ente,, akhie?”
“Alhamdulillah,, ana bi kheir. Bagaimana,, apa sekarang kau harus mengganti sepatumu?” canda Sufyan sambil melirik ke arah sepatu Zahid. Sudah lama sebenarnya ia menawarkan Zahid untuk mengganti sepatu usangnya itu,, tapi selalu saja ditolaknya.
“Hahahahaha.........Kau bisa saja akhie. Tapi, yach, sepertinya aku memang harus menggantinya”
“Ya, itu harus!” Sufyan tersenyum.
Zahid mulai memilih-milih sepatu. Sebentar-sebentar ia terlihat senyum-senyum sendiri. Sufyan yang sedari tadi memperhatikannya, mulai gerah dan akhirnya bertanya.
“Kuperhatikan dari tadi kau senyum-senyum sendiri, ada apa Zahid? Apa kau sedang jatuh cinta?”
Pertanyaan tak terduga itu membuat mimik wsajah Zahid berubah. Rona wajahnya memerah.
“Eh, oh, tidak. Mmmm....... tadi aku melihat gadis yang aneh. Dia berblanja di toko buah di dekat tokomu ini. Ucu sekali,, ia menawar harga yang lebih tinggi dari harga yang diberikan si penjual”
“Hahahaha.........Zahid,, Zahid! Rupanya kau menyukai gadis itu. Hmmm......Baiklah. Nama gadis itu Syaima. Dia tinggal tak begitu jauh dari sini. Hanya beberapa kilometer saja dari sini. Dia bukannya tidak bisa menawar harga. Hanya saja,, begini,, penjual buah itu berteman dengan ayah si gadis,, itulah sebabnya ia memberi harga lebih rendah dari harga biasanya. Tapi Syaima rupanya tidak suka diperlakukan begitu. Dia hanya mau membayar dengan harga yang seharusnya. Tapi sepertinya usahanya tidak pernah berhasil”.
“Oh.........hahahaha......eiwa,, eiwa. Jadi begitu rupanya. Dia benar-benar gadis yang aneh”
“Ohya? Apa kau menyukainya? Bagaimana kalau ku bantu menunjukkan rumahnya?” Sufyan menepuk-nepuk pundak Zahid. Zahid tak bisa berkata apa-apa. Dia hanya tersenyum dan menaikkan alisnya tanda setuju.





Seorang gadis berbalut jubah hitam dan cadar di wajahnya,, duduk diantara kedua orang tua di samping kanan dan kirinya. Matanya tertunduk. Dihadapannya duduk seorang pria berbaju gamis putih,, berkulit putih bersih dengan jambang tipis di seapanjang dagu dan pipinya. Rambutnya lebat,, hitam dan sedikit bergelombamg.
“Jadi,, bagaimana,, Syaima ? Apa kau menyukai pemuda ini?”
Si gadis makin tertunduk. Sebentar kemudian ia menganggukkan kepalanya.
“Eiwa, ya umma...........”
“Alhamdulillah, Alhamdulillah wa syukurillah. Bismillahirrochmaanirrochiim........ Kau diterima nak!” Sang ayah menyalami si pemuda.
“Alhamdulillah,, Alhamdulillah...... Syukron katsir,, ya ami....”
“Barokallahu fiek,, ya akhie” Sufyan yang sedari tadi berdiam diri di samping zahid,, memberi selamat kepada sahabatnya itu seraya merangkulnya.
“Syukron katsir,, ya akhie”
“Eiwa,, mari kita tentukan hari khitbah dan pernikahannya” Sang ayah menawarkan
‘Eiwa,, eiwa” Zahid bersemangat.





Rumah milik Tuan Mahmoed tampak ramai didatangi para undangan. Hari ini diadakan walimahan pernikahan putri semata wayangnya. Ia hanya memiliki 2 orang anak,, seorang putra dan seorang putri. Wajahnya terlihat sedikit lelah tetapi tetap saja tersungging senyum di wajahnya menyambut para tamu yang datang.
Tibalah saat yang dinantikan. Di hadapan sebuah meja kecil,, duduk berhadapan 2 orang pria. Di sampingnya duduk sang penghulu. Sebentar lagi akan dilaksanakan ijab qabul pernikahan. Mempelai wanita yang berhias dengan cantik dan penuh keanggunan,, duduk menanti di dalam kamar yang telah di hiasi berbagai macam bungan dan pernik-pernik. Beberapa teman wanita dan saudara-saudara sepupunya mulai menggodanya. Syaima tidak kuasa menahan godaan teman-teman dan sepupunya. Wajah putihnya memerah. Bibir kecilnya tersenyum malu. Sungguh,, ia tampak sangat cantik! Tiba-tiba semuanya mmulai terdiam. Suasana mendadak menjadi hening,, pertanda ijab qabul akan segera di laksanakan.
Tuan Mahmud menyalami Zahid,, pemuda sang calon pengantin,, seraya mengucapkan ijab.
“Yaa Zahid bin Khaidir Ali Al madi,, ankahtuka wa zawaajtuka makhtuubataka almatsuunah bi binti bi mahar ni’ah real”
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahri madzkur!”
“Syah,, syah??” Tuan penghulu bertanya pada para undangan di kanan kirinya
“Syah,, Syah!!” jawab para undangan
“Barokallahu fiek.......!” Penghulu dan beberapa kerabat dekat menyalami dam memberi selamat kepada keduanya. Kemudian pengantin pria diboyongmasuk ke dalam,, menemui mempelai wanita. Para pengiring mengantar sembari memberikan yel-yel ejekan yang menggoda mempelai pria. Ketika memasuki kamar pengantin,, mempelai wanita berdiri kemudian mencium tangan pemuda yang kini menjadi suaminya. Kemudian hari yang menjadi kenangan indah bagi mereka itu di abadikan dalam sebuah gambar. Indah dan mengharukan.





“Amru.......!” panggil seorang ibu kepada anak lelakinya yang berusia 4 tahun yang sedang berlari-lari kecil di halaman depan rumah.
“Eiwa,, ummii.........!” Amru mendekat pada ibunya
“Jangan berlari-lari terlalu jauh. Ibu tak sanggup untuk mencarimu,, nak!” Si ibu memegangi perutnya yang telah membulat. Ia hamil anak keduanya. Usia kandungannya kini sudah mencapai 7 bulan.
“eiwa,, ya ummi” sang anak menurut”
“Sini,, biar ibu gantikan bajumu. Sebentar lagi ayahmu datang dan kita akan segera berangkat. Jadi kita harus sudah bersiap-siap sebelum ayahmu sampai ke rumah”
Ibu dan anak itu bersiap-siap. Mereka sebentar lagi akan pergi bersama sang ayah untuk pindah ke negeri seberang,, Palestina.
“Assalamu’alaikum” Zahid,, sang suami datang. Syaima,, si istri dan Amru, si anak, segera menyambut kedatangannya dan menyalaminya.
“Bagaimana,, apa kalian sudah siap?”
“Eiwa,, ya zawji”
“Baiklah,, ayo kita berangkat”




“Sur’ah!!! Sur’ah!!!”Seorang pria berbaju putih-putih berkata kepada kawan-kawannya yang sibuk berlari-lari kecil sambil mendorong kereta bangsal. Diatasnya terlentang seorang wanita yang merintih-rintih kecil karena menahan sakit. Tangan kanannya memegangi perut buncitnya sedang tangan kirinya digenggam erat oleh seorang pria tampan, Zahid, suaminya.
“Tashbir,, ya zawjah..........tashbir!”
“Uuugghh........ya Allah..... sakit sekali,, Zahiiiidd.....”
“Eiwa, eiwa ya zawjah.........tashbir....!”
Kereta bangsal terus melaju sampai ke ruang operasi persalinan. Seorang perawat segera menghentikan langkah Zahid tanda ia tak boleh ikut masuk ke dalam. Zahid menurut dengan pasrah.
Di dalam sana Syaima,, sang istri,, sedang beradu dengan maut demi melahirkan seorang bayi. Di luar sana zahid, sang suami, berharap-harap cemas sambil membolak balik genggaman tangannya. Ia mondar-mandir di depan ruang operasi. Memang ini bukanlah kelahiran anak pertamanya. Tapi ini adalah kali pertamanya ia menemani langsung istrinya melahirkan. Waktu kelahiran anak pertamanya, Zahid sedang berada di tempat kerjanya. Ia juga sebenarnya kecewa kenapa tak ada yang memberitahunya kalau istrinya melahirkan.
“Oeek....oeeekk.......!” terdengar suara tangis bayi dari dalam ruang operasi.
“Alhamdulillah wa syukurillah...”
Zahid segera menengadahkan kedua tangannya. Kemudian ia serta merta bersujud di depan ruang operasi. Ketika berfdiri tampak kecerahan di wajah putihnya. Pintu ruangan terbuka, seorang dokter setengah baya menghampirinya.
“Barokallahu fiik........Anakmu laki-laki” sang dokter menepuk-nepuk pundak Zahid.
“Alhamdulillah, Alhamduillah......... Syukron katsir ya thobib”
“Sama-sama. Silahkan masuk kalau anda ingin melihat”
“Eiwa. Terimakasih, dokter!”
Zahid segera menuju pada istrinya yang terbarig lemah di atas bangsal. Senyumnya mengembang begitu ia melihat wajah suaminya. Zahid menggenggam tangan istrinya.
“Alhamdulillah..............aku telah melahirkan anak laki-laki untukmu...”
“Iya, iya aku tahu, Syaima. Anak kita laki-laki. Terima kasih Syaima. Terima kasih............” Zahid mencium tangan dan kening istrinya. Syaima tersenyum.
“Apa kau telah menyiapkan nama untuknya?”
“Ya, tentu saja”
“Siapa?”
“Abdullah”
“Abdullah?”
“Eiwa. Aku ingin ia menjadi abdi bagi Tuhannya. Mencintai dan ta’at pada Rabbnya” Zahid berkata dengan pebuh semangat. Syaima mengangguk pelan. Lagi-lagi ia tersenym. Di sapingnya terapit seorang bayi mungil bebalut kain tebal. Keduanya melihat kepada sang bayi. Dikecupnya pipi bayi merah itu. Di hati keduanya terucap sebuah do’a bagi sang bayi, “Semoga Allah menjagamu, nak”






“Abdul..................!! Jangan berlari-lari nak. Nanti kau terjatuh ! Amru, jaga adikmu !”
“Eiwa, abuya!”
Zahid memperhatikan kedua putranya yang bemain-main di atas rerumputan. Ia duduk di kursi putih di atas hamparan rumput hijau yang “ditumbuhkan” di halaman belang rumahnya. Di hadapannya sebuah meja bundar putih bersih nampak mengkilat memantulkan cahaya matahari pagi yang hangat. Zahid kembali melnjutkan membaca buku Fiqih Sunnah yang ada di enggamannya. Semilir angin membuatnya merasa segar. Dari arah pintu ruang keluarga, Syaima datang membawa nampan berisi teko dan cagkir. Syaima meletakkan nampan diatas meja bundar dan menuangkan teh susu kapulaga kesukaan suaminya.
“Syukron katsir, ya habibati” Zahid tersenyum sambil melirik ke arah Syaima. Syaima ikut tersenyum. Zahid melihat ada sedikit kegelisahan di wajah istrinya.
“Ada apa, Syaima?”
“Oh...., tidak ada apa-apa”
“Jangan berbohong padaku, Syaima. Katakanlah”
“Tidak, aku hanya merasa malu padamu”
“Malu? Kenapa?”
“Aku merasa berat badanku bertmabah. Aku gemuk” Syaima tertunduk malu.
“Hahahahaha..........Syaima, Syaima” Zahid beranjak dari kursinya. Ia memegang pundak istrinya. “Syaima, ana uhibbuki anti, mitslama. Ana uhibbuki kaifa maa kunti. Anti habibati, ya zawjati” Zahid bersyair menirukan kata-kata penyanyi nasheed favoritnya, Achmad Bukhotir. Syaima tampak tersenyum, menunduk malu. Zahid tertawa kecil. Berdua kemudian mereka memperhatikan kedua putra mereka yang asyik berain di rerumputan. Zahid dan Syaima kemudian melanjutkan bercengkrama sambil menikmati secangkir sahie hangat dan sepiring kecil biskuit renyah.
“Bunayya, ayo masuk, hari sudah gelap. Amru, ajak adikmu masuk. Sudah waktunya maghrib. Ayo bersipa-siaplah!” Zahid memanggil anak-anaknya.
“Eiwa ya abuya......!” Amru, sang kakak mematuhi perintah ayahnya.
Sejurus kemudian keheningan senja itu diisi dengan sholat berjama’ah dan tadarrus Al Qur’an. Zahid, sang imam, menyimak baik-baik tiap-tiap bacaan istri dan anak-anaknya kemudian ia memberikan ilmu tajwid bila ada bacaan-bacaan yang salah. Setelah tadarrus Al Qur’an biasanya pada malam-malam tertentu seperti malam jum’at dan malam sabtu, Zahd akan memberikan ceramah dan tausiyah mengenai ilmu fiqih dan syari’at Islam hingga datang waktu isya’. Setelah shalat isya’ mereka akan makan bersama kemudian sambil menunggu waktu tidur biasanya Zahid dan Syaima berbincang-bincang di sofa ruang tamu; sedangkan Amru biasanya belajar di kamar sambil sesekali sibuk mengganggu adiknya. Ia senang sekali menggoda Abdul. Baginya suara tangis dan tawa adiknya sama meriahnya terdengar di telinganya.
“Zahid, kenapa ya akhir-akhir ini aku merasa tidak enak badan dan sering pusing”
“Oh ya? Apa kau sudah minum obat?”
“Ah, kurasa tidak perlu. Mungkin aku sedikit lelah saja”
“Hmmm.......baiklah klo begitu, mungkin sebaiknya kau istirahat dulu supaya besok bisa lebih segar”
“ya, kurasa juga begitu,”

(2 b continue...........)

No comments: